Kearifan Lokal Ludruk
Ludruk
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang
diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan
mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan
lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan
sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat
penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang tamu dari daerah lain
seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang
digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek
(tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, etc)
Sebuah pementasan
ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan
diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan “Pak Sakera“, seorang
jagoan Madura.
Sedangkan pada ludruk Malang, pembuka pementasan diwujudkan dengan
mendendangkan ‘parikan’ yang berisi tentang keadaan dalam masyarakat sosial,
atau permasalahan sosial yang sedang hangat diperbincangkan sesuai dengan judul
dan tema yang akan diusung dalam pertunjukan drama tersebut.
Ludruk berbeda
dengan ketoprak dari Jawa Tengah. Cerita ketoprak sering
diambil dari kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat
menyampaikan pesan tertentu. Sementara ludruk menceritakan cerita hidup sehari-hari
(biasanya) kalangan wong cilik.
Dilihat dari akar historisnya,
kesenian ini lahir dari bentuk perlawanan kaum kelas bawah (proletariat)
terhadap kekuasaan penjajah. Sebelum Indonesia merdeka, pertunjukan ludruk
menjadi media propaganda yang efektif untuk melawan tirani. Karena alasan
itulah, ludruk menuntut dan membentuk aturan bahwa semua pemainnya adalah kaum
laki-laki, meski dalam pemeranannya ada tokoh wanita. Untuk menyiasati itu,
maka tokoh perempuannya diperankan oleh wedo’an (pria yang berdandan layaknya
perempuan dalam pementasan ludruk). Tidak terlibatnya perempuan dalam aksi
panggung ludruk, bukan berarti sengaja ingin menciptakan hierarki di
tubuh ludruk.Namun,
alasan ini lebih dititikberatkan pada keadaan yang tidak berpihak pada
perempuan.
Dalam situasi
perlawanan saat ludruk lahir, pementasan membutuhkan kekuatan laki-laki
walaupun pada perkembangannya, kesenian ini sudah ada yang memakai peran wanita
asli. Ludruk memiliki kecenderungan egaliter kerakyatan yang tidak membedakan
status sosial. Selain itu, ludruk juga menjadi media penyampaian pesan moral,
kerukunan, persatuan, dan kesatuan serta penanaman rasa nasionalisme bagi
generasi muda, khususnya masyarakat Jawa Timur.
Ludruk sendiri
berkembang pada sekitar abad XII - XV. awal mula muncul Ludruk di kenal dengan
Ludruk Bandhan,dengan mementaskan sebuah pertujukkan yang berbau magis,seperti
kekebalan tubuh dan kekuatan lainnya.
Sekitar abad XVI - XVII muncul sebuah genre Ludruk
yang lain yaitu ludruk Lerok yang di pelopori oleh Pak Santik dari kota
Jombang. Kata Lerok sendiri diambil dari kata Lira yaitu alat musik semacam
kecapi (Ciplung Siter ). dalam pementasan awal mula Lerok menggunakan musik
yang keluar dari mulut pemain.
Perkembangan Seni Ludruk pada
tahun 1931 ketika itu ludruk mulai berbentuk sandiwara dalam pementasannya dan
jumlah pemainnya pun mulai bertambah,akan tetapi ciri khas dari ludruk itu
sendiri tidak hilang tetap dipertahankan.ciri khas tersebut ialah Ngremo,Kidungan,Dagelan dan Cerita ( Lakon ).
Pada tahun 1937 muncullah tokoh - tokoh baru dalam kesenian Ludruk seperti Cak
Durasim yang merupaskan tokoh dari Surabaya. Oleh tangan beliau Ludruk
menceritakan kisah Legenda dan dalm bentuk drama.
Jadi Kesimpulannya adalah kesenian ludruk merupakan
kesenian asli Indonesia. Yang telah berdiri sejak tahun 1907. dan mengalami banyak
sekali metamorfosa yang sangat panjang. dan masih tetap bertahan menakar
eksistensinya sampai sekarang.perkembangan kesenian ludruk hingga saat ini
tidak dibarengi dengan semangat kebanggaan oleh generasi muda untuk terus
mepertahankan dan menumbuhkan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap kesenian
ludruk sehingga kesenian ludruk tidak bernasib sama dengan kebudayaan yang
lain. Yang hilang karena direbut bangsa lain atau karena bangsa kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar